Angkuh sebuah kata yang mengartikan kesobongan atau arogansi. Banyak sebab orang menjadi angkuh, sebagaimana tak sedikit jalan bagi manusia menganggap diri berbeda dari orang lain.
Allah SWT berfirman:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللّٰهَ اَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْاِثْمِ فَحَسْبُهٗ جَهَنَّمُ ۗ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
Artinya : “Dan apabila dikatakan kepadanya, Bertakwalah kepada Allah, bangkitlah kesombongannya untuk berbuat dosa. Maka pantaslah baginya Neraka Jahanam, dan sungguh (Jahanam itu) tempat tinggal yang terburuk.” (QS. Al-Baqarah 2: 206)
Sesungguhnya keangkuhan bermula dari bagaimana kita mengenal diri, bagaimana posisi kita ditengah hubungan pergaulan dalam pekerjaan, hubungan pergaulan bermasyarakat atau dalam hubungan vertikal dengan Allah SWT.
Keangkuhan adalah ekspresi perasaan lebih atas orang lain. Perasaan yang kemudian menuntut perlakuan istimewa. Perasaan yang membuat kita enggan beretika. Perasaan lebih tahu dari orang lain berujung pada hati yang mati. Merasa kelebihan pengetahuan menjadikan diri angkuh.
Merasa lebih pintar, lebih tahu dari orang lain, sehingga tak merasa perlu merujuk pada referensi lain, terlebih jika dianggapnya tak memiliki referensi ilmiah.
Sabda RasulullahShallallahu ‘alaihi wa salllam :
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Artinya : “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. (HR. Muslim, no. 2749, dari ‘Abdullah bin Mas’ûd)
Dalam sebuah dialog antara Piere-Simon Laplace, matematikawan Perancis, dengan Napoleon Bonaparte.
Saat itu Simon menyerahkan satu karya besarnya “Mécanique Céleste”. Napoleon bertanya, “kau telah menulis buku tentang alam semesta setebal ini, tapi aku tidak melihat sama sekali kau menyebut Tuhan didalam tuliasanmu?”,
Dengan angkuhnya Simon menjawab, “Aku tidak membutuhkannya dalam hipotesisku, karena aku tak bergantung kepada Tuhan”.
Sungguh tragis betapa sombongnya ia, bagaimana sebuah hipotesa besar tentang alam semesta ditulis tanpa menyebutkan kata Tuhan sebagai pemiliknya. Ayat diatas menjelaskan bahwa balasan yang tepat untuk orang sombong adalah neraka jahanam, perlu diketahui ciri-ciri neraka jahanam, sangat mengerikan dan tingkatan neraka paling tinggi siksanya.
Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَّا نُهُوْا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خٰسِـئِیْنَ
Artinya : “Maka setelah mereka bersikap sombong terhadap segala apa yang dilarang. Kami katakan kepada mereka, Jadilah kamu kera yang hina.” (QS. Al-A’raf 7: 166)
Manusia terlalu angkuh untuk mau mengakui kelemahannya. Padahal semangkin kita tahu semangkin banyak kita tidak tahu, perkembangan pengetahuan sendiri menjelaskan kenyataan itu. Apa yang kita temukan hari ini, akan ketinggalan dikemudian hari.
Manusia boleh saja terbang mencapai langit tertinggi atau menembus laut terdalam, tetapi bagaimana dirinya tercipta dari kekuasaan Ilahi tak pernah dapat dianalisa secara logika.
Begitu kompleksnya struktur sosok manusia Allah SWT ciptakan. Bahkan seorang psikolog yang mendalami kejiwaan manusia itu tak pernah mengerti kondisi jiwanya sendiri.
Kecerdasan, kelimpahan harta, ketokohan ditengah masyarakat, banyak pengikut, memiliki kekuasaan besar dalam organisasi menjadi jalan munculnya sifat arogan. Merasa lebih dari yang lain, merasa memiliki segalanya, merasa dapat membeli semua, merasa abadi segalanya.
Sebuah kisah Qarun sang jutawan, staff khusus Nabi Musa penguasa Bani Israel, memiliki kelebihan harta berlimpah. Suatu saat Qarun gagal memaknai hakikat rezeki, dengan mengatakan,
Allah SWT berfirman:
قَالَ اِنَّمَاۤ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ عِنْدِيْ ۗ اَوَلَمْ يَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهٖ مِنَ الْقُرُوْنِ مَنْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَّاَكْثَرُ جَمْعًا ۗ وَلَا يُسْـئَلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ الْمُجْرِمُوْنَ
Artinya : “Dia (Qarun) berkata, Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku. Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka.” (QS. Al-Qasas 28: 78)
Merasa punya, itulah masalahnya. Karena merasa punya, orang berpikir bisa melakukan apa saja, kapan saja bahkan dimana saja.
Padahal punya dan menikmati tak selalu berbanding lurus. Betapa banyak orang punya duit, tapi tak bisa menikmatinya, karena alasan sakit atau yang lainnya. Orang bisa membeli ranjang semewah apapun, tetapi belum tentu dia bisa menikmati tidur. Orang bisa membeli makanan semahal apapun, tetapi belum tentu bisa menikmatinya.
Jadilah hamba yang tahu diri, hamba yang tahu berasal dari setetes air hina yang memancar, hamba yang tunduk dan patuh kepada-Nya.
- Penulis : Tauhid Ichyar
- Pemerhati Lingkungan
Komentar